Selasa, 19 Mei 2009

Kisah Nabi Ayyub a.s. (class 1)

NABI AYYUB A.S.
(SANG PENYABAR)


Nabi Ayyub adalah seorang mukmin sejati yang ahli ibadah yang tekun. Allah memberikan rezeki yang luas dan harta kekayaan yang yang melimpah. Namun, dia selalu menyisihkan sebahagiannya untuk menolong orang-orang yang memerlukan, yaitu para fakir miskin. Hari-harinya terisi penuh dengan ibadah, sujud kepada Allah dan bersyukur atas segala nikmat dan kurnia yang diberikan kepadanya.”
Para malaikat mengeluarkan kata-kata pujian dan sanjungan untuk Ayyub. Mereka mengakui kebenaran itu. Percakapan para malaikat yang memuji-muji Ayyub itu didengar oleh Iblis. Iblis merasa panas hati dan jengkel mendengar kata-kata pujian itu.

Iblis berusaha membujuk Ayyub agar tidak bersyukur kepada Allah. Kecintaan dan keimanan kepada Allah mampu menepis serangan Iblis. Akan tetapi, Iblis tidak berputus asa. Ia pergi menghadap kepada Allah untuk menghasut. Ia berkata : ” Wahai Tuhan, sesungguhnya Ayyub yang menyembah dan memuji-muji-Mu, bertasbih dan bertahmid menyebut nama-Mu, ia tidak berbuat demikian dengan ikhlas dan tulus. Ia melakukan itu semua karena takut akan kehilangan semua kenikmatan duniawi yang telah Engkau kurniakan kepadanya. Ia takut, jika ia tidak berbuat demikian, Engkau akan mencabut segala nikmat yang telah ia perolehnya.”

Allah berfirman kepada Iblis: “Sesungguhnya Ayyub adalah seorang hamba-Ku yang sangat taat kepada-Ku. Dia seorang mukmin sejati. Apa yang ia lakukan untuk mendekati dirinya kepada-Ku adalah semata-mata didorong oleh iman yang teguh kepada-Ku. Iman dan takwanya tidak akan tergoyah oleh perubahan keadaan duniawinya. Musibah apa pun yang akan dideritanya tidak akan merubah keimanannya. Ia yakin seyakin-yakinnya bahwa apa yang ia miliki adalah pemberian-Ku yang sewaktu-waktu dapat Aku cabut daripadanya atau menjadikannya bertambah berlipat ganda. Ia bersih dari semua tuduhan dan prasangkamu. Engkau memang tidak rela melihathamba-hamba-Ku anak cucu Adan berada di atas jalan yang benar. Aku izinkan engkau untuk mencuba menggodanya serta memalingkannya daripada-Ku. Kerahkanlah pembantu-pembantumu menggoda Ayyub melalui harta kekayaannya dan keluarganya. Coba binasakanlah harta kekayaannya dan cerai-beraikanlah keluarganya yang rukun dan bahagia itu dan Aku akan lihat, sampai di mana kemampuanmu menyesatkan dan merusakkan iman hamba-Ku Ayyub itu.”

Dengan berbagai cara gangguan, akhirnya berhasillah iblis dibantu syaitan menghancurkan kekayaan Ayyub. Hewan ternakannya mati satu persatu sehingga habis sama sekali. Kemudian disusul ladang-ladang dan kebun-kebun. Tanamannya rusak menjadi kering dan gedung-gedungnya yang terbakar habis dimakan api. Sehingga, dalam waktu yang sangat singkat sekali Ayyub yang kaya-raya tiba-tiba menjadi seorang miskin. Dia tidak memiliki kekayaan apapun, selain hatinya yang penuh iman dan takwa serta jiwanya yang besar.

Ayyub sama sekali tidak bersedih kehilangan kakayaannya. Ayyub tetap bersyukur kepada Allah. Bahkan dia bersujud kepada Allah. Dia memohon ampun atas segala dosa dan memohon keteguhan iman serta kesabaran atas segala cobaan dan ujian dari-Nya.

Iblis kecewa tidak berhasil menggoda iman Ayyub dengan menghancurkan kekayaannya. Akan tetapi, Iblis tidak akan pernah berputus asa menggoda Ayyub. Selanjutnya, Iblis berusaha menghancurkan keluarganya yang sedang hidup rukun, damai dan saling menghargai. Iblis datang lagi menghadap kepada Tuhan dan meminta izin meneruskan usahanya mencoba Ayyub. Yaitu dengan cara membunuh semua semua keluarga beliau, terutama anak-anaknya.

Allah meluluskan permintaan Iblis itu dan berfirman: “Aku mengizinkan engkau mencoba sekali lagi, menggoyahkan hati Ayyub yang penuh iman, tawakkal dan kesabaran tiu dengan caramu yang lain. Namun ketahuilah, engkau tidak akan berhasil mencapai tujuanmu melemahkan iman Ayyub dan menipiskan kepercayaannya kepada-Ku.”
Iblis lalu pergi menuju tempat tinggal putra-putra Ayyub. Lalu Iblis mengoyangkan gedung itu hingga roboh berantakan menjatuhi dan menimbuni seluruh penghuninya. Semua putranya meninggal dunia.

Lagi-lagi, Ayyub senantiasa bersyukur kepada Allah. Dia menangis seraya berucap: “Allahlah yang memberi dan Dia pulalah yang mengambil kembali. Segala puji bagi-Nya, Tuhan yang Maha Pemberi dan Maha Pencabut.”
Iblis merasa jengkel dan marah kepada dirinya sendiri karana telah gagal untuk kedua kalinya memujuk dan menghasut Ayyub. Ia pergi menghadap Tuhan dan berkata: “Wahai Tuhan, Ayyub sudah kehilangan semua harta benda dan seluruh kekayaannya dan hari ini ia ditinggalkan oleh putra-putranya yang mati terbunuh di bawah runtuhan gedung yang telah kami hancurkan. Namun, dia masih tetap beriman karena badannya dan mental masih kuat dan sehat. Izinkan aku mencobanya sekali lagi. Aku akan mengganggu kesehatan badannya. Jika dia sakit, niscaya ia akan mulai malas melakukan ibadah dan lama-kelamaan akan melalaikan kewajibannya kepada-Mu. Selanjutnya iman dan akidahnya akan luntur.”

Allah pun mengizinkan Iblis menggoda Ayyub yang kesekian kali. Allah berfirman kepada Iblis: “Bolehlah engkau mencoba lagi mengganggu kesehatan badan Ayyub. Aku akan lihat sejauh mana kepandaianmu mengganggu hamba pilihan-Ku ini.”
Iblis lalu memerintahkan kepada anak buahnya agar menaburkan benih-benih virus penyakit ke dalam tubuh Ayyub. Virus itu dengan cepat menjalar ke tubuh Ayyub. Sehingga, dia menderita berbagai-bagai penyakit, deman panas, batuk, gatal-gatal, dan lain-lain. Dengan demikian, badannya makin lama makin kurus, tenaganya makin lemah dan wajahnya menjadi pucat tidak berdarah dan kulitnya menjadi berbintik-bintik . Akhirnya, dia dijauhi oleh orang-orang sekampungnya dan oleh kawan-kawan dekatnya. Ia diusir dari kampung tempat tinggalnya. Hanya isterinyalah yang tetap mendampinginya, merawatnya dengan penuh kesabaran dan rasa kasih sayang. Sang istri, yang bernama Rahma, melayani segala keperluannya tanpa mengeluh atau menunjukkan tanda kesal hati dari penyakit suaminya yang tidak kunjung sembuh itu.

Ayyub yang sedang dalam keadaan sudah dan amat parah itu tidak meninggalkan ibadah dan zikirnya. Dia tidak mengeluh. Dia tidak bersedih. Dia hanya menyebut nama Allah memohon ampun dan lindungan-Nya bila ia merasakan sakit. Iblis merasa kesal hati dan jengkel melihat ketabahan hati Ayyub menanggung derita dan kesabarannya menerima berbagai musibah dan ujian. Iblis kehabisan akal, tidak tahu apalagi usaha yang harus diterapkan bagi mencapai tujuannya merusakkan aqidah dan iman Ayyub.
Selanjutnya Iblis membisikkan rayuan kepada istri Ayyub agar pergi menjauhi suaminya. Iblis mulai menghembuskan racun tipudaya ke telinga isterinya yang nampak sudah agak kesal merawat suaminya, namun masih tetap patuh dan setia.”

Dengan rencana barunya pergilah Iblis mendatangi isteri Ayyub, menyamar sebagai teman dekat suaminya. Rahma pun mulai tergoda. Dia teringat masa lalu yang bahagia. Kekayaan melimpah, keluarga rukun dan setia. Kemudian, dia mendekati Ayyub yang sedang menderita kesakitan dan berbisik-bisik kepadanya sambil berkata: “Wahai sayangku, sampai kapankah engkau tersiksa oleh Tuhanmu ini? Di manakah kekayaanmu, putera-puteramu, sahabat-sahabatmu dan kawan-kawan terdekatmu? Oh, alangkah indahnya masa lampau kita dulu, usia muda, badan sehat, sarana kebahagiaan dan kesejahteraan hidup tersedia, kita dikelilingi oleh keluarga. Mohonlah kepada Tuhanmu, wahai Ayyub, agar kami dibebaskan dari segala penderitaan dan musibah yang berpanjangan ini.”

Ayyub menjawab keluhan isterinya: “Wahai isteriku yang kusayangi, engkau menangisi kebahagiaan dan kesejahteraan masa yang lalu, menangisi anak-anak kita yang telah mati diambil oleh Allah dan engkau minta aku memohon kepada Allah agar kami dibebaskan dari kesengsaraan dan penderitaan yang kami alami masa kini. Aku hendak bertanya kepadamu, berapa lama kami tidak menikmati masa hidup yang mewah, makmur dan sejahtera itu?” “Lapan puluh tahun”, jawab isteri Ayyub. “Lalu berapa lama kami telah hidup dalam penderitaan ini?” tanya lagi Ayyub. “Tujuh tahun”, jawab si isteri.
“Aku malu”, Ayyub melanjutkan jawabannya,” memohon dari Allah membebaskan kami dari sengsaraan dan penderitaan yang telah kami alami belum sepanjang masa kejayaan yang telah Allah kurniakan kepada kami. Kiranya engkau telah termakan hasutan dan bujukan syaitan, sehingga mulai menipis imanmu dan berkesal hati menerima taqdir dan hukum Allah. Tunggulah ganjaranmu kelak jika aku telah sembuh dari penyakitku dan kekuatan badanku pulih kembali. Aku akan mencambukmu 100 kali. Dan sejak detik ini aku haramkan diriku makan dan minum dari tanganmu atau menyuruh engkau melakukan sesuatu untukku. Tinggalkanlah aku seorang diri di tempat ini sampai Allah menentukan taqdir-Nya.”

Setelah ditinggalkan oleh isterinya yang diusir, maka Nabi Ayyub tinggal seorang diri, tiada sanak saudara, tiada anak dan tiada isteri. Ia bermunajat kepada Allah dengan sepenuh hati memohon rahmat dan kasih sayang-Nya. Ia berdoa: “Wahai Tuhanku, aku telah diganggu oleh syaitan dengan kepayahan dan kesusahan serta siksaan dan Engkaulah wahai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.”
Allah menerima doa Nabi Ayyub yang telah mencapai puncak kesabaran dan keteguhan iman serta berhasil memenangkan perjuangannya melawan hasutan dan bujukan Iblis. Allah mewahyukan firman kepadanya: “Hantamkanlah kakimu ke tanah. Dari situ air akan memancur dan dengan air itu engkau akan sembuh dari semua penyakitmu dan akan pulih kembali kesehatan dan kekuatan badanmu. Jika engkau gunakannya untuk minum dan mandi.”

Dengan izin Allah setelah dilaksanakan petunjuk Illahi itu, sembuhlah segera Nabi Ayyub dari penyakitnya, semua luka-luka kulitnya menjadi kering dan segala rasa pedih hilang, seolah-olah tidak pernah terasa olehnya. Ia bahkan kembali menampakkan lebih sihat dan lebih kuat daripada sebelum ia menderita.
Dalam pada itu isterinya yang telah diusir dan meninggalkan dia seorang diri di tempat tinggalnya yang terasing, jauh dari keramaian kota, merasa tidak sampai hati lebih lama berada jauh dari suaminya, namun ia hampir tidak mengenalnya kembali, kerana bukanlah Ayyub yang ditinggalkan sakit itu yang berada di depannya, tetapi Ayyub yang muda belia, segar bugar, sehat afiat seakan-akan tidak pernah sakit dan menderita. Ia segera memeluk suaminya seraya bersyukur kepada Allah yang telah memberikan rahmat dan kurnia-Nya mengembalikan kesihatan suaminya bahkan lebih baik daripada keadaan asalnya.

Nabi Ayyub telah bersumpah sewaktu ia mengusir isterinya akan mencambuknya 100 kali bila ia sudah sembuh. Ia merasa wajib melaksanakan sumpahnya itu, namun merasa kasihan kepada isterinya yang sudah menunjukkan kesetiaannya dan menyekutuinya di dalam segala duka dan deritanya. Ia bingung, hatinya terumbang-ambingkan oleh dua perasaan, ia merasa berwajiban melaksanakan sumpahnya, tetapi isterinya yang setia dan bakti itu tidak patut, kata hatinya, menjalani hukuman yang seberat itu. Akhirnya Allah memberi jalan keluar baginya dengan firman-Nya: “Hai Ayyub, ambillah dengan tanganmu seikat lidi dan cambuklah isterimu dengan rumput itu 1 kali sesuai dengan sesuai dengan sumpahmu, sehingga dengan demikian tertebuslah sumpahmu.”
Nabi Ayyub dipilih oleh Allah sebagai nabi dan teladan yang baik bagi hamba-hamba-Nya dalam hal kesabaran dan keteguhan iman. Hingga kini nama Ayyub disebut sebagai simbol kesabaran. Allah telah membalas kesabaran dan keteguhan iman Ayyub bukan saja dengan memulihkan kembali kesehatan badannya bahkan dikembalikan pula kebesaran duniawinya dan kekayaan harta-bendanya dengan berlipat gandanya. Juga dia dikurniakan lagi putera-putera sebanyak yang telah hilang dan mati dalam musibah yang ia telah alami. Demikianlah rahmat Tuhan dan kurnia-Nya kepada Nabi Ayyub yang telah berhasil melalui masa ujian yang berat dengan penuh sabar, tawakkal dan beriman kepada Allah.

Pertanyaan:
1) Sebutkan tiga ujian dan cobaan berat yang diderita Nabi Ayyub!
2) Siapakah yang menyebabkan kekayaan Nabi Ayyub hancur?
3) Kenapa kekayaan Nabi Ayyub dihancurkan?
4) Siapakah yang mendampingi Nabi Ayyub ketika dia diusir ke hutan?
5) Jelaskan sikap-sikap terpuji yang pantas diteladani dari kisah ini?
6) Bagaimana usaha nabi Ayyub agar sembuh dari penyakit?

Kisah Ayyub di atas dapat dibaca dalam Al-Quran surah Shaad ayat 41 sehingga ayat 44 dan surah Al-Anbiaa’ ayat 83 dan 84.

Senin, 04 Mei 2009

Apakah Sama Dengan Beo?


Berdzikir untuk mengingat Allah bukan formalitas ritual

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah binti Abu Bakar r.a. bahwa Rasulullah saw senantiasa mengingat Allah SWT (zikir) dalam setiap saat. Rasulullah saw juga bersabda, “Kalau aku membaca subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, dan Allahu Akbar, bacaan itu lebih aku gemari daripada mendapatkan kekayaan sebanyak apa yang berada di bawah sinar matahari” (HR Muslim).

Seorang muslim yang berprofesi sebagai rakyat biasa, pedagang, pengusaha, penguasa, ulama, pegawai negeri sipil atau swasta, tentara atau polisi, mungkin setiap hari mengucapkan zikir subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaha illallah. Tetapi mengapa kita tetap jauh dari Allah SWT? Maling sandal, maling ayam, maling kambing, maling aspal, maling hutan, masih terus berkeliaran. Suap, pungli, jalan terus. Korupsi, kolusi, nepotisme, juga jalan terus.

Alkisah, ada seekor burung beo yang telah terlatih. Dia bias mengucapkan kata-kata yang bagus. Dia sangat fasih mengucapkan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, dan la ilaha illallah. Setiap saat kata-kata itu diulang-ulangnya dengan sangat jelas. Suatu hari burung beo itu disambar kucing. Akan tetapi kata yang terdengar dari mulut burung beo itu adalah suara yang sedang sekarat, “keak, keak, keak…!” Kemudian mati. Pak Agus, seorang sesepuh Padepokan Lumajang, terlihat amat sedih. Setelah kesedihannya berlalu, pak Agus lalu memanggil para muridnya.

Pak Agus bertanya, apakah kalian tahu mengapa aku merasa begitu sedih dan menangis? Aku terbayang bahwa sebagian dari kita akan mati seperti matinya burung beo itu. Burung itu setiap saat mengucapkan kalimah zikir, tetapi ketika mati ucapan yang keluar adalah keak, keak, keak…! Aku menangis membayangkan bahwa sebagian dari kita setiap hari berzikir mengucapkan subhaanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaaha illallah, tetapi ketika sakaratul maut tiba, kita tidak membawa zikir tersebut. Alangkah amat menyedihkan! Alangkah celakanya! Lalu pak Agus melanjutkan, alangkah menyedihkan jika kita tidak berzikir seperti berzikirnya anak gembala kambing dalam kisah Umar bin Khatab yang amat terkenal itu.

Ketika melihat seorang anak gembala miskin dengan pakaian compang camping sedang menggembalakan kambing yang amat banyak milik majikannya, Umar bin Khatab bertanya, Nak, bolehkah kubeli kambing yang sedang kau gembalakan itu satu ekor? Si anak gembala menjawab, Kambing ini bukan milikku, tetapi milik majikanku. Aku tidak boleh menjualnya. Umar bin Khatab membujuk, Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya? Dijawab, Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya. Umar bin Khatab terus membujuk, Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Lagi pula aku mau membeli kambing yang kecil saja supaya lebih tidak ketahuan. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk beli baju atau roti. Anak gembala itu tidak tergiur. Dia tetap tidak mau menjual kambing yang bukan miliknya.

Umar bin Khatab dengan nada yang ditinggikan (marah) berkata, Mengapa kamu ini, susah benar sih! Kambing itu amat banyak. Majikan kamu tidak tahu jumlah-nya. Kalau kamu jual satu, majikan kamu tidak akan tahu. Di sini juga tidak ada orang lain. Hanya ada aku dengan kamu. Tidak ada orang lain yang tahu. Lihat di sekitar kamu, apa ada yang lihat? Nih uangnya, bawa sini kambingnya! Kamu takut sama siapa? Anak gembala miskin yang pakaiannya compang-camping itu, dengan tetap tegar menjawab, Takut Allah. Allah menyaksikan. Allah Mahatahu!

Mendengar jawaban anak gembala itu, Umar bin Khatab, lelaki tinggi besar, gagah perkasa, jago perang, jago berkelahi, amir al mu’minin (pemimpin kaum beriman), menangis. Lemah lunglai seluruh sendi tubuhnya.
Anak gembala itu walaupun miskin, menghadirkan Allah dalam setiap denyut dan detak kehidupannya. Walaupun miskin dia tidak menjual imannya dengan uang atau harta. Walaupun secara lisan mungkin dia tidak mengucapkan kalimah zikir, tetapi dari tindakannya dia berzikir. Zikir yang sesungguhnya, Selalu mengingat Allah! Selalu menghadirkan Allah! Sedangkan kita, mukminin dan mukminat yang rakyat biasa, yang pedagang, yang pengusaha, yang penguasa, yang ulama, yang pegawai negeri sipil/swasta, yang tentara/polisi, sebagian terbanyak dari kita bukan sedang berzikir tetapi sedang membeo.

Astaghfirullah…, mulut kita bersuara cuma seperti burung beo!

Khalifah Umar dan Anak Gembala


Arti sebuah Kejujuran dan Keimanan

Abdullah bin Dinar meriwayatkan bahwa suatu hari dia berjalan bersama Amirul Mukminin Umar bin Khattab dari Madinah menuju Makkah. Di tengah perjalanan beliau bertemu dengan anak gembala. Lalu timbul dalam hati Khalifah Umar untuk menguji sejauh mana kejujuran dan keamanahan si anak gembala itu.

Maka, terjadilah dialog berikut ini. ''Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!'' ujar Amirul Mukminin. ''Aku hanya seorang budak,'' jawab si gembala. Umar bin Khattab berkata lagi, Umar bin Khatab membujuk: “Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya?” Dijawab oleh anak tersebut dengan mantab: “Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya.” Umar bin Khatab terus mencoba membujuk: “Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Atau Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti.” Anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.'' ''

Anak gembala tersebut diam sejenak, ditatapnya wajah Amirul Mukminin, lalu keluar dari bibirnya perkataan yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ''Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti mengetahui siapa yang berdusta?''

Umar bin Khattab adalah seorang khalifah, seorang pemimpin. Dia adalah seorang pemimpin umat yang sangat berwibawa lagi ditakuti, dan tak pernah gentar menghadapi musuh. Akan tetapi, menghadapi anak gembala itu beliau gemetar, rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian-persendian tulangnya terasa lemah, kemudian beliau menangis. Menangis mendengar kalimat tauhid itu, yang mengingatkan pada keagungan Allah, dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.

Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, kemudian ditebusnya, dan beliau berkata, ''Dengan kalimat tersebut (Fa ainallah?) telah kumerdekakan kamu dari perbudakan itu dan dengan kalimat itu pula insya Allah kamu akan merdeka di akhirat kelak.'' Peristiwa di atas jelas merupakan cermin jiwa yang ihsan, terpuji, serta gambaran iman yang melahirkan sifat jujur dan amanah.

Alangkah indahnya negeri ini bila penduduknya memiliki iman dan ihsan seperti anak gembala itu.Bila iman dan ihsan menyebar di negeri ini, maka kita akan mendapati peraturan akan dipatuhi, negara akan aman, kemakmuran akan dinikmati, hati penduduk negeri menjadi damai.

Demikian memang jaminan dari Allah SWT di dalam Alquran, ''Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.'' (Al A'raf: 96). Wallahu a'lam. (RioL)

Nilai Kejujuran
Tertegun Khalifah Umar karena jawaban itu. Sambil meneteskan air mata, ia pun berkata, ''Kalimat 'di mana Allah' itu telah memerdekakan kamu di dunia ini. Semoga dengan kalimat ini pula akan memerdekakan kamu di akhirat kelak.''

Kisah di atas mencerminkan gambaran pribadi yang jujur dan menjalankan kewajiban dengan disiplin yang kuat. Dia tidak akan berbohong walaupun diiming-imingi keuntungan materi sekalipun. Anak gembala itu walaupun miskin, menghadirkan Allah dalam setiap denyut dan detak kehidupannya. Walaupun miskin dia tidak menjual imannya dengan uang atau harta. Walaupun secara lisan mungkin dia tidak mengucapkan kalimah zikir, tetapi dari tindakannya dia berzikir. Zikir yang sesungguhnya, Selalu mengingat Allah! Selalu menghadirkan Allah!

Adakah kita mengingat keberadaan Allah SWT saat hendak melakukan sesuatu?

Ya, Allah memang tidak terlihat secara kasat mata, tapi sesungguhnya Allah selalu melihat semua perbuatan hamba-Nya. Apakah itu kebaikan ataupun keburukan. Sifat jujur dan takwa adalah dua sifat yang tidak dapat dipisahkan.

Karena orang yang bertakwa, pastilah berperilaku jujur. Dan, sebaliknya, orang yang berperilaku jujur termasuk golongan orang yang bertakwa.

Sebagaimana firman Allah SWT, ''Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan, janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan, bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.'' (QS Almaidah [5]: 8)

Betapa sesungguhnya kejujuran adalah salah satu sifat dari hamba Allah yang senantiasa bertakwa. Bahkan, kejujuran dan keadilan itu tidak hanya ditujukan untuk sesama Muslim, tetapi juga kepada kaum yang dibenci sekalipun.

Amatlah mahal harga sebuah kejujuran karena akan dibayar dengan ketakwaan. Dan, sudah pasti ketakwaan akan membuka jalan untuk ke surga. Bila kepingan rupiah tidaklah mampu membeli surga, sudah seharusnya kita tidak menjual kejujuran hanya demi materi dunia. Wallahu a'alam