Senin, 04 Mei 2009

Apakah Sama Dengan Beo?


Berdzikir untuk mengingat Allah bukan formalitas ritual

Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis dari Aisyah binti Abu Bakar r.a. bahwa Rasulullah saw senantiasa mengingat Allah SWT (zikir) dalam setiap saat. Rasulullah saw juga bersabda, “Kalau aku membaca subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, dan Allahu Akbar, bacaan itu lebih aku gemari daripada mendapatkan kekayaan sebanyak apa yang berada di bawah sinar matahari” (HR Muslim).

Seorang muslim yang berprofesi sebagai rakyat biasa, pedagang, pengusaha, penguasa, ulama, pegawai negeri sipil atau swasta, tentara atau polisi, mungkin setiap hari mengucapkan zikir subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaha illallah. Tetapi mengapa kita tetap jauh dari Allah SWT? Maling sandal, maling ayam, maling kambing, maling aspal, maling hutan, masih terus berkeliaran. Suap, pungli, jalan terus. Korupsi, kolusi, nepotisme, juga jalan terus.

Alkisah, ada seekor burung beo yang telah terlatih. Dia bias mengucapkan kata-kata yang bagus. Dia sangat fasih mengucapkan subhanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, dan la ilaha illallah. Setiap saat kata-kata itu diulang-ulangnya dengan sangat jelas. Suatu hari burung beo itu disambar kucing. Akan tetapi kata yang terdengar dari mulut burung beo itu adalah suara yang sedang sekarat, “keak, keak, keak…!” Kemudian mati. Pak Agus, seorang sesepuh Padepokan Lumajang, terlihat amat sedih. Setelah kesedihannya berlalu, pak Agus lalu memanggil para muridnya.

Pak Agus bertanya, apakah kalian tahu mengapa aku merasa begitu sedih dan menangis? Aku terbayang bahwa sebagian dari kita akan mati seperti matinya burung beo itu. Burung itu setiap saat mengucapkan kalimah zikir, tetapi ketika mati ucapan yang keluar adalah keak, keak, keak…! Aku menangis membayangkan bahwa sebagian dari kita setiap hari berzikir mengucapkan subhaanallah, alhamdulillah, Allahu Akbar, la ilaaha illallah, tetapi ketika sakaratul maut tiba, kita tidak membawa zikir tersebut. Alangkah amat menyedihkan! Alangkah celakanya! Lalu pak Agus melanjutkan, alangkah menyedihkan jika kita tidak berzikir seperti berzikirnya anak gembala kambing dalam kisah Umar bin Khatab yang amat terkenal itu.

Ketika melihat seorang anak gembala miskin dengan pakaian compang camping sedang menggembalakan kambing yang amat banyak milik majikannya, Umar bin Khatab bertanya, Nak, bolehkah kubeli kambing yang sedang kau gembalakan itu satu ekor? Si anak gembala menjawab, Kambing ini bukan milikku, tetapi milik majikanku. Aku tidak boleh menjualnya. Umar bin Khatab membujuk, Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu jumlahnya? Apakah dia suka memeriksa dan menghitungnya? Dijawab, Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya. Umar bin Khatab terus membujuk, Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Lagi pula aku mau membeli kambing yang kecil saja supaya lebih tidak ketahuan. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk beli baju atau roti. Anak gembala itu tidak tergiur. Dia tetap tidak mau menjual kambing yang bukan miliknya.

Umar bin Khatab dengan nada yang ditinggikan (marah) berkata, Mengapa kamu ini, susah benar sih! Kambing itu amat banyak. Majikan kamu tidak tahu jumlah-nya. Kalau kamu jual satu, majikan kamu tidak akan tahu. Di sini juga tidak ada orang lain. Hanya ada aku dengan kamu. Tidak ada orang lain yang tahu. Lihat di sekitar kamu, apa ada yang lihat? Nih uangnya, bawa sini kambingnya! Kamu takut sama siapa? Anak gembala miskin yang pakaiannya compang-camping itu, dengan tetap tegar menjawab, Takut Allah. Allah menyaksikan. Allah Mahatahu!

Mendengar jawaban anak gembala itu, Umar bin Khatab, lelaki tinggi besar, gagah perkasa, jago perang, jago berkelahi, amir al mu’minin (pemimpin kaum beriman), menangis. Lemah lunglai seluruh sendi tubuhnya.
Anak gembala itu walaupun miskin, menghadirkan Allah dalam setiap denyut dan detak kehidupannya. Walaupun miskin dia tidak menjual imannya dengan uang atau harta. Walaupun secara lisan mungkin dia tidak mengucapkan kalimah zikir, tetapi dari tindakannya dia berzikir. Zikir yang sesungguhnya, Selalu mengingat Allah! Selalu menghadirkan Allah! Sedangkan kita, mukminin dan mukminat yang rakyat biasa, yang pedagang, yang pengusaha, yang penguasa, yang ulama, yang pegawai negeri sipil/swasta, yang tentara/polisi, sebagian terbanyak dari kita bukan sedang berzikir tetapi sedang membeo.

Astaghfirullah…, mulut kita bersuara cuma seperti burung beo!

Tidak ada komentar: