Rabu, 12 September 2012

KHALIFAH FIL-ARDH



Manusia sungguh memiliki keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya. Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna (lihat surat at-Tiin). Meskipun demikian, manusia berpotensi (berpeluang) untuk menjadi makhluk paling mulia atau paling hina. Hanya orang yang beriman dan beramal shalih yang akan menjadi makhluk mulia di sisi Allah.
Potensi inilah yang menjadikan manusia sangat disayang oleh Allah. Di antara bukti kasih sayang-Nya adalah penciptaan alam semesta ini. Alam sengaja diciptakan oleh Allah dengan penuh keseimbangan dan keteraturan, bukan tercipta secara kebetulan. Penciptaan alam ini terkait dengan kepentingan manusia sebagai khalifah fil ardh (pemakmur di muka bumi ini). Karenanya alam diciptakan dalam pola-pola tertentu yang teratur agar manusia dapat dengan mudah memahami alam dan memanfaatkannya.

Manusia, sebagai makhluk Allah Swt, memiliki sifat fitrah (kesucian) dan hanif (cenderungan kepada kebenaran). Hal ini ditegaskan dengan ikrar kesaksian pada ketauhidan (QS al-A'raf: 172). Manusia ketika masih di alam arwah telah berjanji akan senantiasa beriman kepada Allah. Namun Allah tidak membiarkan manusia berkata seperti itu begitu saja. Allah akan menguji kebenaran janji mereka. Ujian keimanan itu adalah menjadi makhluk penghuni bumi. Lantas Allah juga membekali manusia dengan hati, akal, dan nafsu untuk menjalankan misi khalifah tersebut. Sisi keunggulan inilah yang menempatkan manusia layak menerima amanat “khalifah Allah Swt di muka bumi ini” (Lihatlah QS al-Baqarah: 30, al-An'am: 165).
Khalifah berarti wakil/pengganti, pemimpin, pemakmur. Dalam konteks ini manusia adalah wakil Allah Swt yang memiliki kewajiban moral untuk melaksanakan segala kehendak Allah Swt di muka bumi ini agar bumi tetap dalam kondisi terpelihara dan makmur. (QS Hud: 61).
Meski dicipta dengan berbagai keunggulan, derajat manusia sebagai makhluk tidak pernah berubah hanya karena ia adalah khalifah Allah Swt. Karena itu Allah Swt secara tegas melarang manusia merusak keteraturan alam (QS al-A'raf: 56, 74, 85, al-Syuara: 151). Allah akan membalas perbuatan yang merusak dengan kerusakan dan bencana juga, seperti pemanasan global, angin puting beliung, banjir, longsor, atau bencana yang lainnya. (QS al-Rum: 41).
Jika alam tercipta secara teratur dan memiliki hubungan yang harmonis dengan manusia, lalu kenapa saat ini alam seakan memusuhi manusia? Jawabannya terletak pada QS al-Rum ayat 41 di atas: Telah timbul kerusakan di darat dan di laut karena ulah tangan-tangan manusia, sehingga Allah memberikan kepada mereka sebagian (akibat) dari perbuatan mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar.

Ayat di atas secara tegas memberitahukan pada kita bahwa alam tidak pernah merusak dirinya sendiri. Kerusakan alam lebih disebabkan oleh adanya kekuatan-kekuatan luar yang menghilangkan keseimbangan dan keteraturannya sehingga menghasilkan ketidakseimbangan. Kekuatan perusak itu adalah manusia.

Kenapa manusia merusak alam?
Bukankah manusia adalah khalifah di alam ini dan kehadirannya untuk melestarikan alam?

Meski dicipta dengan segala keunggulannya, secara nature manusia adalah ciptaan Allah yang memiliki sifat-sifat kelemahan (QS al-Nisa: 28) dan menjadi sebab kelalaian manusia pada misi utama penciptaannya. Dengan demikian, dalam diri manusia terdapat dua sifat yang bertentangan: kesempurnaan dan kelemahan, kebaikan dan kekurangan (QS al-Syams: 7-8).

Kedua unsur tersebut selalu berperang dalam diri manusia. Ketika unsur kesempurnaan mendominasi atau menguasainya, maka manusia hidup di atas jalan ketuhanan dan memperoleh kebahagiaan (QS al-Syams: 9). Sebaliknya, dominasi unsur negatif mengakibatkan manusia terjebak pada bencana dan kerugian (ayat 10). Sebab kedua inilah yang menjadikan manusia melupakan Tuhan dan tugas utama dirinya sendiri (QS al-Hasyr: 19).

Maka dapat kita simpulkan bahwa berbagai bencana yang menimpa bangsa ini beberapa tahun terakhir ini sesungguhnya berakar pada satu hal: krisis moral kemanusiaan. Manusia telah lupa pada dirinya sendiri, hakikat, visi dan misi kehadirannya di muka bumi ini. Manusia, dalam lingkup yang lebih sempit: bangsa Indonesia, lupa bahwa dirinya adalah khalifah Allah yang bertugas menjaga alam agar tetap berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Dalam lingkup yang lebih sempit lagi: sekolah dan lingkungan sekitar, kita lupa memelihara keindahan dan kebersihan serta keamanannya. Kita malah cenderung berbuat jelek, mengotori lingkungan, dan lain sebagainya.

Kelalaian manusia (kekafiran dan perbuatan jelek) telah menjatuhkannya ke derajat yang lebih rendah: binatang, bahkan lebih rendah dari itu. Untuk memuaskan nafsu kebinatangannya manusia melakukan apa pun tanpa memedulikan akibatnya. Alam, yang sejatinya harus dilindunginya, berubah menjadi obyek pemuasan dirinya. Lingkungan yang seharusnya kita jaga, sekolah yang seharusnya kita rawat, berubah jadi kotor, jelek dan tidak menyenangkan untuk dihuni.
Akibat dari semua itu adalah, seperti terdapat dalam Surat al-Rum di atas, terjadinya pemanasan global, banjir, longsor, gempa bumi, angin puting beliung, kecelakaan transportasi, kebakaran hutan, kekeringan, semburan lumpur panas dan berbagai bencana alam lainnya.

Lalu apa yang mesti kita lakukan? Jawabnya adalah: kembali ke jalan kebenaran, yaitu kembali kepada visi-misi penciptaan kita sebagai khalifah di muka bumi. Allahu A'lam.

Tidak ada komentar: